Hujan di Ujung Jendela karya Dyan Nuranindya
Tentang Penulis: Dyan Nuranindya merupakan penulis kelahiran Jakarta, 14 Desember 1985. Penikmat seni yang lebih sering mengagumi karya orang lain dibandingkan karyanya sendiri. Cewek lulusan S2 Komunikasi Ul ini sangat menyukai gunung, tebing, lautan, lampu-lampu jalanan di malam hari, museum dan bangunan- bangunan tua, sehingga tak pernah menolak jika diajak ke salah satu tempat itu. Penikmat segala jenis buku. Bahkan buku-buku yang sama sekali tidak dimengertinya. Lebih sering kalap kalau di toko buku daripada di toko baju. Paling senang diajak ngobrol. Apalagi dengan secangkir cappucino kesukaan- nya. Untuk mengenalnya lebih jauh, silahkan datang ke blog pribadinya di www.dyannuranindya.com, atau bisa juga kamu sapa melalui Twitter: @dyannuranindya.
.png)
Yuk, Kita Simak
Hujan Di Ujung Jendela
karya: Dyan Nuranindya
HUJAN...
Hujan selalu berjodoh dengan Langit. Oh, bukan, buka langit dalam arti sebenarnya. Nama cowok itu Langit. Cowok yang selalu datang ke Kafe ini ketika matahari tertutup awan dan hujan turun perlahan.
Langit selalu memesan secangkir jahe madu hangat. Duduk di tempat favoritnya di sudut ruangan, dekat jendela. Senyumnya mengambang ketika titik-titik air perlahan turun membahasi kaca jendela. Senyum ala Robert Pattinson yang mampu yang mampu membuat cewek-cewek mana pun terhipnotis dan menyerah dihadapannya.
Sudah dua tahun dia tidak pernah sekalipun memilih posisi tempat duduk yang berbeda. dia juga tidak pernah datang diwaktu lain. Selau ketika hujan. Saat matahari beristirahat sejenak karena awan hitam hadir menyelimutinya. Hujan selalu berjodoh dengan Langit...
Aroma jahe segar selau tercium dari Kafe itu. Jahe madu hangat yang terkenal seantero kota. Semua orang selalu menanggi pemilik Kafe itu dengan Bunda. Sebutan paling berharga di belahan dunia mana pun. Bunda...
"Hujannya agak deras hari ini. Sepertinya dia gak muncul."
"Nggak papa kok, Bun. Saya mau nunggu aja sampai hujannya reda. Saya pesan..."
"Jahe madu hangat" potong Bunda cepat dengan tatapan matanya yang teduh. seperti hafal betul kebiasaan cowok itu.
"Jahe madu hangat... buatan Bunda," mebahka tertawa kecil. Tatapannyaa tak paling dari wanita yang kini tengah sibu meracik jahe di balik meja dapur. Wanita yang telah melahirkan cewek luar biasa yang namanya menjadi nama kafe ini.
Pelangi...
Gosh! Kalau dengar nama itu, rasanya jantung Langit kedatangan kelompok marching band. Dag...dung..dung...cess! Nggak karuan.
Pelangi adalah cewek aneh dengan sejuta dongeng warna-warni. riabun cerita seru, san ratusan kata-kata ajaib terlontar begitu saja dari mulutnya tanpa disadari. Cewek yang selalu menganggap dunia ini taman bermainnya. Cewek aneh itulah yang membuat LANGIT MENJADI PENGUNJUNG SETIA KAFE INI. membuatnya mencintai sudut tempat duduk yang sama. Dekat jendela. Dengan hujan dan secaingkirvjahe madu hangat di meja. Jahe madu yang disebut cewek itu sebagai ramuan ajaib Dukun Panoromix dari desa Galiaa, tempat Asterix dan Obelix.
Entah sudah berapa kali Langit mengulang-ulang awal perjumpaan mereka di memori kepalanya. Dia selalu suka momen itu. Dia suka suasananya, rasanya, emosinya, warna warninya... hingga dia sadar dirinya mencandui cerita itu. Cerita yang nyaris membuarnya gila karena tiak ada satu pun orang yang percaya, kecuali Bunda.
Dua tahun sebelumnya....
"Happy birthday, Langit!"
Dan... blank.
Langit betul-betul lupa apa yang terjadi malam itu. Dia cuma ingat ketika dipukul dua belas malam dia pulang ke apartemen dan shock karena teman-teman "rusuh"nya membuat perta kejutan. Lampu warna-warni. konfeti. musik yang berdentuman, tawa bahagia. alkohol, alkohol lagi dan alkohol, dan... lupa.
"Hai, Mad Hatter!"
Langit hanya bisa melongo. Yang dia ingat hanyalah, saatadi ia membuka mata, hidungnya diketuk-ketuk seseorang. Lalu ketika dia mebuka mata, dia yerjekejut melihat seorang cewek dengan gambar hati dikedua pipi, muncul tepat dihadapannya. Membuatnya nyaris melonjak saking kagetnya. "HUAAA!!! Lo siapa?"
"I'm teh queen of heart" jawab cewek itu sambil berlagak bak aristokrat.
Langit heran bukan main. Kayaknya si cewek ratu hati itu gila. Langit memegang kepalanya yang yerasa pusing. Oke, ia memang mabuk berat tadi malam. Tapi...
Langit tersentak ketika menyadari keberadaan dirinya. IA buru-buru bangkit. "Kenapa gue ada di taman ini?"
"Justru aku yang mau tanya kenapa kamu bisa ada di sini dengan muka kayak gitu? Apa kamu beneran Mad Hattter?"
"Siapa tuh?"
"Mad Hatter, si pembuat topi di Alice in teh Wonderland. Tau nggak?" tanya si cewek itu sambil berjinjit layaknya belerina si ats kursi taman. ia membawa buku tebal yang ia letakkan di atas kepalanya. Kemudia ia berdiri dengan satu kaki. Tangannya mengambil posisi seperti petapa. Sambil memjamkan mata, cewek itu mengatur napas. tariiikkk...embuskan....tariiikkk...embuskan...
Langit mengerutkan kening. Dia berusaha mencari-cari benda yang bisa merefleksikan bayangan wajahnya. sayangnya tak satu pun benda yang dimaksudnya ada di taman. Tiba-tiba Queen of Heart wannabe itu menarik tangan Langit.
Eeeh... mau ke mana?" Langit jadi bingung. "Ayo kita pergi dari sini sebelum Ibu Peri menemukan kita lalu mengubah kita jadi labu dan tikus!" ucap si "Ratu Hati" sambil mengepalkan tangan.
"What?! Labu? Tikus?" Langit semakin bingung. Tapi kebingungannya semakin membuatnya yakin bahwa cewek ini gila. Ya, cewek entah siapa namanya ini sakit jiwa. Alice in Wonderland? Oh... crap!
Pasti ada yang aneh di wajahnya yang membuat orang- orang di sepanjang jalan melihatnya sambil cekikikkan. Apalagi ditambah makhluk asing di depannya yang semangat banget melompat-lompat dari satu jalan ke jalan yang lain sambil terkekeh sendiri. Sekilas terlihat judul buku di tangannya: Kumpulan Dongeng Sedunia.
Hingga sampailah Langit pada sebuah kafe mungil di tengah gedung-gedung tinggi. Kayaknya dia mulai mengenal wilayah itu. Ya, kafe mungil itu sering dia lewati kalau mau berangkat ke kampus. Otaknya mulai berpikir keras. Ini nggak jauh dari apartemennya. Apa sebaiknya dia...
"Itu toiletnya. Ada cermin tarsah yang bisa kamu pakai untuk... melihat impian," ucap cewek itu sok misterius sambil menunjuk ke arah kanan ruangan ketika mereka memasuki kafe. Lalu diam-diam ia cekikikan sendiri.
Langit buru-buru menuju toilet tanpa berpikir lebih dalam ucapan cewek itu, la terkejut melihat wajahnya sendiri di cermin. "Okay, great!" Pantas saja cewek tadi memanggilnya Mad Hatter. Wajahnya memang betul-betul seperti tokoh di film Alice in Wonderland itu. Argh, brengsek!!!
Langit bengong melihat cewek di hadapannya yang sedang menikmati aroma kertas buku dongeng di tangannya. Keheranan Langit terhenti saat secangkir jahe hangat disajikan tepat di depannya.
"Gue nggak pesan..."
"Aku yang pesenin buat kamu. Coba dulu. Ini ramuan rahasia buatan Panoramix," bisik cewek misterius itu sambil menatap Langit dengan matanya yang jernih. "Asterix?"
"Hah? Kamu kenal?" Cewek itu kelihatan kaget.
Langit memutar bola matanya. Perlahan ia mengangkat cangkir biru tersebut untuk menyeruput air jahe itu. Nuansa hangat langsung menyelimuti dinding mulutnya. Menciptakan sensasi nyaman dan...
"Udah aku tambahin racun di dalamnya."
Seketika Langit menyemburkan air jahe yang nyaris masuk ke kerongkongannya. Sensasi yang sempat hadir, buyar seketika.
Cewek itu terkekeh. "Hihihi... Gotcha! Bercanda, tau!"
Langit mendorong cangkirnya agak menjauh. la mem- perhatikan wajah cewek aneh tadi, yang kini sibuk menghapus gambar hati di wajahnya. "Kenapa lo corat-coret muka lo kayak gitu?"
"Ini bukan coretan. Ini tato-tatoan. Hadiah dari permen karet."
"Pernah ada yang bilang lo aneh?"
"Aneh? Kamu?" cewek itu balik bertanya.
"Elo!"
"Elo?"
"ELO!"
Cewek itu terkekeh. la mencondongkan wajah sambil berkata pelan, "Kayaknya teman-teman kamu jahat."
"Mana mungkin? Mereka udah bikin surprise party buat gue. Mereka nggak jahat."
Cewek aneh itu tersenyum. "Ngebiarin kamu tidur di taman dengan muka Mad Hatter? Hah! Untung kamu nggak diculik alien dan dijadikan penelitian mereka di Mars." Digital
"Lo kayaknya kebanyakan baca buku dongeng ya? Umur lo berapa sih? Itu cara pertemanan orang dewasa, Nona."
"Aku juga orang dewasa," ucap cewek itu cepat. Kemu- dian ia buru-buru menambahkan dengan mata mengerling jail, "Tapi aku orang dewasa yang asyik. Aku nggak perlu pura-pura untuk bisa dibilang dewasa."
"Itu aneh. Apa semua temen-temen lo sama anehnya kayak elo?"
"Harry Potter? Eragon? Artemis Fowl? Hmm... kayaknya aku nggak berteman dengan manusia."
Terus...?"
"Aku... berteman dengan... bukų. Mereka nggak pernah membuatku kesepian. Setidaknya mereka nggak bikin aku kepengen bunuh diri cuma gara-gara hidupku yang ngebosenin kayak kamu."
"Gue?" Langit heran. Tapi tak kuat lagi untuk nggak tertawa. Makhluk apa sebenarnya yang ada di depannya ini?
Tiba-tiba saja wajah cewek itu berada cukup dekat dengan wajah Langit. Cowok itu nyaris tersentak. Tapi entah kenapa dia nggak sanggup berkutik. Bola mata cewek itu... cokelat. Berbinar indah. Bibirnya mungil dan berwarna ceri. Langit serasa terhipnotis.
"Ke-kenapa?"
Cewek itu terlihat menatap detail wajah Langit. la tersenyum. Perlahan tangan mungilnya menyentuh pipi cowok itu.
Langit merasakan tangannya yang dingin dan lembut. Seperti embun pagi. Membuat jantungnya berdetak sangat kencang.
"Muka kamu... bercerita," ucap cewek itu pelan. Ke- mudian perlahan jari mungilnya menyelusuri wajah Langit. "Ini garis kesepian... ini garis kekecewaan. Garis senyum kamu pudar. Kamu kelihatan nggak bahagia. Kenapa temen-temen kamu nggak ada yang sadar ini semua?"
Langit kelihatan bingung. Salah tingkah. la beranjak. "Mendingan gue cabut dari sini. Thanks untuk..." Langit mencari-cari dompet di kantongnya. Tapi tak ada apa- apa di kantongnya.
Hujan turun perlahan. Semakin lama semakin deras, padahal langit cerah. Aroma tanah basah seketika me- nyusup ke dalam kafe.
"Aku yang traktir," ucap cewek itu pelan, seperti ke- cewa.
Langit jadi nggak enak hati. la duduk kembali di tem- patnya. "Oh iya, kita belum kenalan, Queen of Heart?"
"Sekarang aku bukan Queen of Heart lagi."
"Yeah, whatever...," ucap Langit.
Kemudian cewek itu mengulurkan tangan.
"Oke, kita belum kenalan." Akhirnya Langit menyambut uluran tangannya. "Nama gue Langit."
Tiba-tiba wajah cewek itu semringah. "Hei, kita jodoh!" pekiknya kegirangan tanpa bisa dimengerti Langit. Mata- nya kelihatan berbinar-binar. Indah. "Nama lo?"
"Nanti kamu juga tau kalau hujannya udah berhenti. Namaku akan terlihat dari tempat ini. Di sana..." Cewek itu menunjuk ke arah langit.
Langit mengerutkan kening, tak mengerti.
"Oh iya, ini kado buat kamu. Happy birthday," ucap cewek itu sambil menyerahkan sebuah dompet kulit dengan KTP Langit di dalamnya.
Kembali ke masa sekarang...
"Kenapa kamu masih mau datang kemari?"
Langit terdiam menatap Bunda yang kini duduk di hadapannya dengan napas berat. Wajah wanita itu basah oleh air mata. Perlahan tangan Langit menyentuh lembut punggung tangan Bunda. "Bunda... nggak mau saya dateng ke sini lagi?"
Bunda menggeleng cepat. "Siapa pun gadis pilihanmu nanti, bawa dia ke kafe ini. Berikan tempat duduk di sudut jendela, pesankan dia secangkir jahe madu hangat," ucap Bunda. Air mata terus mengalir dari pelupuk matanya.
"Maafkan saya, Bunda..."
"Sejak pertama kali kamu datang ke kafe ini dan ber- cerita tentang Pelangi, di situ Bunda meyakini sesua- tu..." Digital Pis
"Apa, Bunda?"
"Bahwa dia memilih kamu untuk menemani Bunda."
Langit terdiam menatap Bunda yang terisak. la tak tega. Sudah lama ia tidak merasakan kehadiran sosok ibu karena ibunya meninggal ketika melahirkannya. Dan kini ayahnya telah menikah lagi dengan wanita yang sama sekali tidak disukainya.
Langit memeluk Bunda untuk menenangkan wanita itu. la berusaha menahan perasaannya. Matanya mene- rawang jauh, menembus kaca jendela. Mengingat kembali kejadian itu...
Dua tahun lalu, di hari ulang tahunnya, setelah surprise party, Langit membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi. la menabrak pohon di taman kota. Nyawanya ter- tolong. Tapi dua minggu ia koma di rumah sakit.
Ketika tersadar, hanya satu nama yang ada di pikirannya. Pelangi.
Ya, cewek itu merasuki alam bawah sadarnya. Mene- maninya dalam mimpi yang panjang. Membawanya ke Kafe Pelangi.
Langit pun mencari Kafe Pelangi yang muncul dalam mimpinya. Kafe yang ia yakini ada dalam kehidupan nyata karena sering kali dilewatinya ketika menuju kampus. Tapi bukan Pelangi yang ia temui di kafe itu. Melainkan Bunda.
Langit pun bingung ketika bercerita tentang apa yang ia alami selama dirinya koma di rumah sakit. la berusaha meyakinkan Bunda bahwa ia tidak berbohong. Cowok itu nyaris putus asa. Siapa yang mau percaya omong kosong itu? Tapi akhirnya Bunda berkata, "Pelangi tidak ada di sini. Dia sudah berada di negeri dongeng impiannya."
Pelangi meninggal seminggu sebelum tabrakan itu terjadi. Leukemia. Langit nyaris tak percaya dengan apa yang dialaminya waktu itu dalam mimpinya. Ini terlalu aneh untuk dipikir secara akal sehat. Bagaimana bisa dua orang berkenalan di dalam mimpi? Tapi itu kenya- taannya.
Hujan pun perlahan berhenti. Seiring dengan tetes air di pelupuk mata Bunda. Matahari kembali memancarkan sinarnya yang keemasan. Seperti menghangatkan hati yang menjerit berselimut kenangan.
Langit tersenyum. la merenggangkan pelukannya. Se-
buah kalimat terucap dari bibirnya, "Dia datang, Bun..." Di atas sana, melintang di sudut cakrawala, untaian garis warna-warni menghiasi langit sore. Pelangi mengirim- kan pesan bahagia untuk hujan dan matahari. Langit selalu berjodoh dengan hujan...
Oh, bukan...
Langit berjodoh dengan Pelangi....